Sudah enam bulan ini Sachi puasa gadget. Gadget yang saya
maksud di sini lebih megarah ke tablet
dan handphone. Kebetulan dia tidak
suka menonton televisi, dan saya
tidak tahu kenapa. Televisi di mobil
dia masih mau menonton, tapi intensitasnya kecil, dan tidak sampai pada tahap addict.
Saya tidak anti gadget.
Tidak sama sekali. Sebaliknya, saya justeru sangat mengandalkan dan membutuhkan
teknologi ini. Sebagai seorang Work At
Home Mom yang menjalankan sebuah small
business berbasis online, sebut
saja onlineshop, saya hampir
sepanjang siang dan malam memegang gadget.
Entah itu untuk menerima orderan dari customer,
mengupload foto produk, membalas comment, atau sekedar chat dengan teman. Saya juga cukup aktif
di sosial media seperti instagram dan path, dan setiap saat memerlukan gadget untuk memposting status.
Saya tidak pernah berkampanye anti gadget, dan tidak pernah mengajak secara sengaja ibu-ibu lain agar
berhenti memberikan gadget untuk
anaknya. Saya cukup paham bahwa perlakuan pada setiap anak itu berbeda, dan masing-masing
orangtua memiliki metode spesifik tersendiri untuk anaknya. Saya justeru salut
dengan anak-anak yang bisa memegang gadget
tanpa ketergantungan. Banyak anak-anak yang bermain gadget tapi baik-baik saja, pintar, sehat, dan luwes
bersosialisasi. Bisa mengontrol diri dan tidak berlebihan. Sayang Sachi tidak
bisa seperti itu.
Seperti yang sudah saya ceritakan di atas, sebagai owner sebuah onlineshop, saya hampir sepanjang hari membalas orderan lewat gadget. Ada kalanya Sachi rewel dan
minta ditemani main, atau sekedar mencari perhatian, sementara saya sendiri
sedang ada di jam-jam rush hours. Untuk
menenangkannya, saya sering memberikan gadget untuk Sachi, agar tidak ‘mengganggu’.
Saya berikan Sachi akses ke youtube
untuk menonton Pocoyo kartun kesukaannya, atau sekedar mendengarkan lagu
anak-anak semacam Fingers Family. Sachi
memang jadi tenang. Lebih dari itu, dia bahkan jadi fasih mengutak atik gadget. Pencet sana sini, memindahkan channel youtube, mengganti menu, bermain game, menghidupkan dan mematikan power, sampai hafal dengan passcode handphone saya.
Tapi kemudian kebiasaan ini sampai pada titik dimana saya
merasa kami harus segera berhenti. Belakangan, Sachi jadi malas bermain keluar
rumah bersama teman-temannya seperti yang biasa dia lakukan setiap hari sebelum
kenal gadget. Dia juga jadi malas
ngobrol dengan saya dan abinya. Dia jadi tidak mau tidur cepat karena malam
hari asik dengan youtube. Dan dia
jadi cenderung pemarah terutama jika dilarang memegang gadget.
Paralel dengan pengalaman saya, saya memiliki kerabat dekat
yang anaknya didiagnosa speech delay,
dengan alasan terlalu banyak terpapar gadget.
Ayah dan ibunya sibuk bekerja, dan anaknya sehari-hari bersama ART di rumah
yang tidak bisa setiap saat menemani si anak bermain karena harus mengerjakan
tugas lain seperti memasak atau membereskan rumah. Gadget adalah solusi tercepat dan termudah untuk menenangkan anak. Akibatnya,
di usia yang nyaris 6 tahun, dia belum bisa berbicara dengan jelas. Dan setelah
berkonsultasi dengan dokter tumbuh kembang anak, ternyata gadget merupakan
salah satu penyebabnya.
Kerabat saya ini berinisiatif memeriksakan anaknya setelah
mendengar cerita dari temannya yang juga owner
sebuah onlineshop laris yang anaknya
juga didiagnosa speech delay di usia
pra sekolah, dengan alasan yang sama, gadget.
Sama seperti saya, gadget adalah
solusi tercepat untuk menenangkan anak ketika dia rewel atau ‘mengganggu’ saat
ibunya sibuk mengerjakan orderan.
Berkaca dari kasus kerabat saya dan temannya, somehow saya merasa kami juga akan
mencapai titik yang sama dengan mereka, jika saya tidak segera menghentikan
kebiasaan ini. Apalagi tanda-tanda ke arah sana sudah mulai terlihat. Lagipula,
apa gunanya saya resign dan memilih bekerja
dari rumah, mengorbankan karir kantoran demi alasan mengurus Sachi, kalau
nyatanya toh saya tetap sibuk sendiri, dan Sachi hanya berteman dengan gadget. Akhirnya saya sampai pada
keputusan, oke Sachi harus puasa gadget.
Sekarang, Sachi sudah sibuk bermain di luar rumah lagi
bersama teman-temannya, setiap hari. Mainan kesukaannya adalah main bola,
perosotan, atau sepeda. Dia main setiap hari sampai langsing dan gosong. Dia juga
sudah bisa merangkai beberapa kata menjadi kalimat walaupun kadang terbalik
balik. Dia sudah bisa diajak mengobrol dan menjawab pertanyaan sederhana. Dia sudah
bisa bernyanyi lagu-lagu sederhana walaupun tidak lengkap liriknya. Dan dia
sudah jauh lebih stabil dan tenang secara emosi.
Bagaimana cara saya menghentikan kebiasaannya bermain gadget?
Dua minggu pertama adalah masa terberat. Saya pernah membaca
status seorang teman di laman facebook, jika ingin menghentikan kebiasaan anak bermain
gadget, orangtuanya juga harus
berhenti bermain gadget di depan si
anak. Kalau tidak, si anak akan merasa diperlakukan tidak adil dan berpikir,
kenapa aku dilarang bermain gadget
sementara ayah dan ibuku bisa bebas memegang gadget kapan saja. Jadi saya dan suami berjanji untuk tidak memegang
gadget di depan Sachi. Setiap ada
orderan masuk, saya membalasnya di tempat lain yang tidak terlihat Sachi. Di kamar
mandi, di dapur, di luar rumah, di mana saja asalkan jauh dari pandangan dia. Begitu
juga jika ada telpon masuk. Minggu pertama puasa, Sachi memang merengek heboh meminta jatah gadget, terutama malam hari menjelang
tidur. Tapi kami kuatkan diri untuk tidak menyerah memberikannya gadget. Pelan-pelan kami alihkan
perhatiannya dengan aktivitas lain, seperti bernyanyi, bermain permainan
sensori, masak-masakan di ‘dapur’ nya, menggambar dengan crayon, sampai loncat-loncatan di kasur.
Begitu juga ketika jalan-jalan ke restoran misalnya. Jika dulu
sambil menunggu makanan datang dia asik dengan tenang memegang gadget, sekarang saya membawa mainan dan
peralatan gambar untuk mengisi waktunya agar tidak ingat dengan gadget.
Benar kata orang-orang tua, anak-anak itu sangat gampang
teralihkan. Minggu ketiga puasa, Sachi sudah mulai lupa dengan yang namanya gadget. Yang tadinya selalu menagih,
sudah tidak pernah dilakukan. Bulan kedua bahkan kami sudah bisa memegang handphone tanpa diminta Sachi. Saya sudah
bisa membalas orderan customer di
depan dia tanpa rebutan handphone,
saya katakan padanya berulang kali kalau umi memegang handphone untuk kerja. Tapi tetap dengan frekuensi yang tidak
seintensif dulu. Saya sekarang tidak selalu memegang handphone seperti dulu. Kegiatan membalas orderan pun lebih banyak
saya serahkan ke asisten. Konsekuensi dari puasa gadget, kami jadi harus lebih kreatif memikirkan kegiatan untuk
Sachi mengisi waktunya sebagai pengganti gadget.
Kami jadi lebih sering main di luar, ke taman, berenang, atau sekedar
makan-makan di restoran. Pulsa dan paket internet di handphone juga sekarang jauh lebih hemat. Dari biasanya habis dalam
dua hari, sekarang bisa bertahan hingga satu bulan hehehe.
Tentu saja, pengalaman saya ini hanya untuk sekedar sharing dan berbagi cerita. Karena seperti
yang saya sebutkan di atas, tiap anak memiliki perbedaan dalam merespon solusi.
Dan metode yang saya lakukan belum tentu cocok diterapkan pada anak lain. Saya hanya
ibu biasa yang berusaha agar anaknya tidak ketergantungan gadget. Tidak ada salahnya memberikan gadget ke anak jika kita yakin kita bisa mengontrolnya. Ibu-ibu
sekarang sangat pintar dan kreatif untuk memilihkan anak-anaknya menu-menu
khusus di gadget yang bisa mengasah
kreatifitas dan kepintaran anak. Atau memberikan mereka lagu-lagu untuk
merangsang kecakapan berbicara si anak. Semua tergantung bagaimana kita sebagai
orangtua memanage waktu antara si
anak dan gadget. Jika dapat dikontrol
dengan baik, insyaAllah menurut saya semua akan fine-fine saja. Tapi jika teman-teman mulai merasa ada yang
berlebihan dan tidak beres, tidak ada salahnya untuk berhenti sejenak dan mengevaluasi
keadaan.
Yang namanya puasa, tentu ada saatnya berbuka. Suatu saat
saya akan mengenalkan (lagi) Sachi pada gadget,
nanti di saat yang tepat. Semoga bermanfaat, dan happy parenting ;)